Sejarah - Sosok "Mujahid" Bersenjata Pena
Tak lengkap membicarakan hiruk pikuk pers di Indonesia tanpa menyebut nama M Yunan Nasution. Dia adalah motor Majalah Pedoman Masjarakat, media Islam sangat berpengaruh di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera pada dekade 1930-an.
Pedoman Masjarakat terbit di Medan (1935). Tebalnya 24 halaman, ukuran 19 x 24,5 cm. Majalah ini punya motto "Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam."
Mulanya majalah ini terbit sebulan sekali, kemudian berubah menjadi mingguan. Yunan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi. Pemimpin Redaksinya adalah Buya HAMKA.
Beberapa buku HAMKA diambil dari artikel majalah ini, misalnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Tasawuf Modern, 1001 Soal-soal Hidup, Filsafaf Hidup, Lembaga Hidup, dan Tuntunan Jiwa. Yunan Nasution tak ketinggalan, menerbitkan kumpulan tulisan dalam sejumlah buku, antara lain berjudul Penuntun Pergaulan.
Dari Menulis sampai Lay Out
M Yunan Nasution lahir pada tanggal 22 November 1913 di Kampung Botung, Kotanopan, Tapanuli Selatan. Sebagai insan pers, Yunan boleh dikatakan bisa kerja di ‘semua meja’.
Ketika di Pedoman Masjarakat, Yunan banyak menulis, menyortir naskah masuk, mengedit, sekaligus merancang perwajahan (lay out)-nya. Juga menjadi penanggungjawab beberapa rubrik, seperti rubrik Tinjauan Tanah Air. Namun dia memakai nama lain, yaitu Pro Patria. Ketika menulis Ulasan Berita, namanya diganti menjadi Mr Ex atau Mr Eks.
Saat menulis rubrik Pojok, namanya Syma Nare. Lain lagi kalau menulis Tinjauan Luar Negeri, namanya adalah Refdinal. Kadangkala Yunan juga menulis Tajuk Rencana, di saat HAMKA berhalangan. Jadi, rubrik sebanyak itu sesungguhnya penulisnya hanya satu: M Yunan Nasution.
Meskipun posisinya sebagai wakil pemimpin redaksi, dialah manajer Pedoman Masjarakat secara de facto. Pasalnya, HAMKA sebagai pemimpin redaksinya banyak beraktivitas di luar. Dan tugas itu bisa berjalan dengan baik, karena Yunan didukung pengalaman segudang sebagai wartawan. Salah satunya pernah menjadi wartawan Suluh Islam.
Di masa kepemimpinan Yunan Nasution, tiras Pedoman Masjarakat mencapai 3500 eksemplar. Jumlah yang cukup besar pada masa itu. Beberapa tokoh ternama menjadi kolumnisnya, seperti Osman Raliby, Mohammad Natsir, Abikoesno Tjokrosoejoso, KH Mas Mansoer, Soekarno, Mohammad Hatta, M Yamin, dan Soepomo. Tak lupa penulis-penulis wanita seperti H Rangkayo Rasoena Said, Maria Oelfah, dan Nadimah Tandjoeng. Juga tokoh-tokoh luar negeri seperti dari India, Pakistan, Mesir, Arab Saudi, Jerman, Belanda, dan Prancis.
Sayang, majalah itu cuma berusia delapan tahun. Edisi terakhirnya tertanggal 4 Februari 1942, setebal 30 halaman. Pedoman Masjarakat kesulitan mencari kertas yang memang saat itu cukup sulit, dan piutangnya menumpuk di agen.
Bukan Yunan Nasution kalau patah arang. Ia segera menerbitkan majalah baru bernama Semangat Islam. Masih seiring sejalan dengan HAMKA yang bertindak sebagai Pemimpin Umumnya. Yunan sendiri bertengger di kursi Pemimpin Redaksi.
Namun rupanya perjuangan wartawan Islam di masa penjajahan Jepang tak bisa berjalan lempang. Kontrol terhadap pers sangat ketat. Semangat Islam yang murni bicara masalah dakwah, bukan politik, tak pelak harus gulung tikar juga. Usianya cuma 2 tahun.
Kancah Sosial-Politik
Tak cuma sibuk menulis di kantor redaksi. Yunan Nasution bersama Buya HAMKA juga membentuk Warmusi (Wartawan Muslimin Indonesia), pada tanggal 29 Januari 1938. Yunan duduk sebagai sekretaris.
Warmusi bertujuan mempertinggi dan mempertahankan derajat persuratkabaran Islam di Indonesia, serta mempertahankan dan mensyiarkan Islam. Organisasi ini juga menjadi pembela wartawan Muslim menyangkut profesinya, menggerakkan dan menuntun keinginan pemuda-pemudi Islam kepada jurnalistik, menganjurkan aksi bersama-sama di dalam pers (terutama pers Islam) setiap terjadi hal-hal yang melukai perasaan kaum Muslimin, dan sebagainya.
Yunan menolak keras adanya anggapan bahwa wartawan Muslim cuma bisa mengurusi masalah wudhu, istinja’, dan permasalahan fiqih. "Kita dianggap tidak berhak membicarakan masalah politik internasional maupun nasional, ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya. Alasannya, karena kita dianggap keluaran sekolah agama sehingga tidak mungkin membicarakan masalah-masalah tersebut."
Kepada rekan seprofesi, Yunan selalu menasihati agar tak kecil hati. Kalaupun toh wartawan Muslim dianggap hanya bisa menulis hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan bahasa Arab, bagi Yunan tidak masalah. "Segala pengetahuan cukup terdapat di dalam bahasa Arab, tidak kalah dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris umpamanya.
Baik dalam bentuk majalah, surat kabar, dan buku-buku," kata Yunan, sambil menunjukkan contoh buku, majalah, dan surat kabar dalam bahasa Arab yang mengupas berbagai masalah dunia.
Tahun 1945, Soekarno dan Hatta mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Yunan bergabung, dan menjadi Wakil Ketua PNI Sumatera Timur. Banyak yang bertanya-tanya, kenapa bergabung dengan partai yang tidak memperjuangkan syariat Islam?
"Sewaktu ditunjuk, saya langsung menyampaikan sikap kepada hadirin, bahwa saya menerima pengangkatan sebagai wakil Ketua PNI dengan syarat apabila nanti berdiri partai yang berdasarkan Islam, yang meliputi seluruh Nusantara, saya akan keluar dari PNI dan masuk ke dalam partai baru itu. Persyaratan ini sengaja saya sampaikan kepada umum, kepada segenap pengurus, agar di belakang hari tidak timbul prasangka yang tidak baik."
Betul. Setelah pemerintah melalui Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat nomor X tanggal 3 November 1945 yang mendorong berdirinya partai-partai politik lain, Yunan mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di Medan. Tokoh pendiri lainnya adalah M Dien Jatim dan Bahtiar Joenoes.
Saat itu, Yunan belum tahu bahwa telah berdiri partai berskala nasional bernama Partai Masjumi, di Yogyakarta. Masalahnya sepele: tak ada alat komunikasi. Namun begitu berita itu sampai ke telinganya, seketika Parmusi melebur ke tubuh Masjumi. Yunan diangkat sebagai Ketua Umum Masjumi Sumatera. Bertindak sebagai Ketua I adalah Udin Sjamsuddin, Ketua II adalah Mawardi Noer.
Pada kepemimpinan Masjumi di bawah Mohammad Natsir (1956-1958), Yunan Nasution diangkat sebagai Sekretaris Umum. Sejak saat inilah karir "politik lokal"-nya di Medan beranjak ke pentas politik nasional.
Dipenjara
Aktivitas di Masjumi sempat menyeret Yunan ke bui. Januari 1962 ia ditangkap rezim Soekarno, yang sangat represif terhadap lawan-lawan politiknya. Yunan ditahan di markas CPM di Jalan Hayam Wuruk (Jakarta), satu sel dengan Mohammad Roem, Prawoto Mangkoesasmito, Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, dan Subadio Sastrosatomo.
Beberapa saat kemudian ia dipindah ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Cimanggis. Kali ini jadi satu dengan Mochtar Lubis dan KH Sholeh Iskandar. Lalu dipindah ke LP Madiun (22 Desember 1962), dan dipindah lagi ke Jakarta (Oktober 1965). Yunan baru bisa menimati udara bebas pada tanggal 15 Februari 1966.
Meski di penjara, aktivitas Yunan tak berubah. Bersama aktivis Masjumi lain, ia menghidupkan mushala di dalam penjara. Bahkan Yunan mengakui, ia bisa semakin khusyuk beribadah, menambah hafalan Al-Quran, dan menulis 5 buah buku. Salah satunya berjudul Dinamika Hidup (208 halaman) yang diterbitkan oleh Bulan Bintang.
Pasca pembubaran Masjumi, Yunan diamanahi sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Wilayah Jakarta. Selain aktif membina ummat, Yunan tetap menulis, salah satunya di Buletin Dakwah terbitan DDII.
Dalam acara perayaan ulang tahun Yunan ke-70, Mohammad Natsir mengemukakan kesannya, "Pedoman Masjarakat dipimpin oleh Buya HAMKA dan M Yunan Nasution. Di dalamnya disajikan karangan-karangan yang sangat berharga. Kalau pemuda-pemudi kita sekarang ini membacanya, akan tetap terasa aktualitasnya dan akan tetap diperlukan bagi masa depan."
Mantan Ketua Umum DDII lainnya, Anwar Harjono, menjuluki Yunan sebagai ulama, politikus, dan penulis. Sedangkan wartawan senior Mochtar Lubis melukiskannya sebagai pribadi yang sederhana, teguh, dan patriotik.*
Sumber : Sahid / hidayatullah.com
Post a Comment