PERANG JAMAL DAN SHIFFIN PERANG SESAMA MUSLIM AKIBAT FITNAH HASUTAN YAHUDI DAN MUNAFIQUN

Orang-orang dari penduduk Mesir terhasut bujukan Abdullah Ibnu Saba’ al-Yahudi untuk berserikat menggulingkan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dari kekhilafahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah ar-Rasyid.

Mungkin selama ini kita selalu bertanya, mengapa bisa terjadi peperangan antar kaum muslimin di zaman generasi terbaik yaitu generasi sahabat. Mengapa 3 sahabat dari 10 yang dijamin masuk syurga bahkan juga melibatkan Ummul Mu’minin Siti Aisyah Istri Baginda Nabi s.a.w bisa terlibat dalam pertempuran? Yang terjadi sebenarnya adalah, kala itu fitnah sudah sedemikian rumit akibat hembusan dendam Yahudi dan kaum munafiq serta kaum pembangkang pembunuh Sayyidina Utsman bin Affan r.a. Adanya kaum pembangkang ini kemungkinan iman mereka masih sangat lemah dan belum lama memeluk dan mempelajari Islam.

Pada dasarnya perang itu tidak direncanakan terjadi, ditimbulkan akibat kesalahpahaman dan fitnah yang sudah melanda begitu sangat berbahaya. Maka dalam hal ini, sebagian besar para Ulama Ahlussunnah berpendapat bahwa kaum muslimin yang terbunuh dan dibunuh keduanya mati syahid. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak paparan berikut ini yang kami ambil dari sebuah sumber yang bisa dipertanggungjawabkan:

Orang-orang dari penduduk Mesir terhasut bujukan Abdullah Ibnu Saba’ al-Yahudi untuk berserikat menggulingkan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dari kekhilafahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah ar-Rasyid.

Wafatnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin, sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya.

“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat”[1]

Kondisi daulah menjadi genting dan sangat mencekam. Musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, seperti munafikin dan orang kafir, semakin mengintai. Demikian pula kelompok-kelompok sempalan yang sesat, seperti sekte Khawarij dan Syiah Rafidhah, memanfaatkan keadaan yang semakin tidak menentu. Hari-hari fitnah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah n pun datang bergelombang.

Semenjak wafatnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menjadi manusia termulia di muka bumi dengan kesepakatan sahabat. Kaum muslimin, sahabat Muhajirin dan Anshar, berbai’at kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai Amirul Mukminin, menggantikan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu di tengah-tengah kondisi negeri yang membutuhkan kesabaran.

Setelah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menjadi amirul mukminin, sekelompok sahabat menginginkan agar kasus pembunuhan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu segera dituntaskan dengan menegakkan qishash atas para pembunuh beliau karena mereka telah mencoreng kehormatan darah, kehormatan tanah haram, dan kehormatan bulan haram. Apalagi, manusia yang dibunuh adalah shahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Di antara shahabat yang berpendapat demikian adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Berbeda halnya dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berpandangan untuk menunda kasus pembunuhan Utsman hingga kondisi negara membaik.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu —sebagai wali Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu secara syariat—berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)

Mu’awiyah m radhiyallahu ‘anhu emandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda. Ijtihad Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Oleh sebab itu, beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu diserahkan untuk ditegakkan qishash. Ketika itu, Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu dan penduduk Syam.

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beberapa shahabat seperti Thalhah, az-Zubair, dan para pemuka shahabat radhiyallahu ‘anhum mengunjungi Ali radhiyallahu ‘anhu. Mereka meminta Ali radhiyallahu ‘anhu segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas darah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Namun, Ali radhiyallahu ‘anhu menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan qishash, -pen.) karena pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu memiliki bala bantuan dan kroni-kroni, sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu. [2]

Kondisi daulah semakin diperparah dengan terjadinya Perang Jamal, yang sesungguhnya adalah bagian dari makar orang-orang Khawarij dan konspirasi para pembunuh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Perang Jamal juga semakin menunjukkan betapa bahayanya kondisi daulah karena makar para penyulut fitnah.

Perang Jamal terjadi pada 36 H. Sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan baik Ummul Mukminin A’isyah radhiyallahu ‘anhu untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah radhiyallahu ‘anha menuju Bashrah bersama Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, az-Zubair bin al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin—barisan Ali dan Aisyah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Malam itu pun menjadi malam yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian.

Namun , para penyulut fitnah dari khawarij tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan. Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri. Demikian pula A’isyah radhiyallahu ‘anhu, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui, tidak ada shahabat yang ikut dalam fitnah tersebut melainkan beberapa orang saja.Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu bahwasannya antara dia dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu akan timbul permasalahan. Dalam sebuah hadits dari Abu Raafi’ bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

“Bahwasannya antara kamu dan ‘Aisyah nanti akan ada satu permasalahan”. ’Ali bertanya : ”Saya kah wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Ya”. ’Ali kembali bertanya : ”Apakah saya orang yang celaka (dalam permasalahan itu) ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab :”Tidak, akan tetapi jika hal itu nanti terjadi, maka kembalikanlah ia (’Aisyah) ke tempatnya yang aman.[3]


Dan hal yang menunjukkan bahwasannya ’Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair tidak keluar untuk mengadakan peperangan (terhadap ’Ali), melainkan mereka hanya bertujuan untuk mendamaikan (perselisihan) di antara kaum muslimin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Haazim, ia berkata :
”Ketika ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sampai di sebagian perkampungan Bani ’Amir, tiba-tiba anjing-anjing (di tempat tersebut) menggonggong. Berkata ’Aisyah : ”Perairan apakah ini ?”. Mereka pun menjawab : ”Al-Hauab”[4]. ’Aisyah berkata : ”Aku kira aku harus kembali pulang”. Lalu Az-Zubair berkata kepadanya : ”Tidak, bahkan engkau harus maju hingga manusia melihatmu dan (dengan itu) Allah akan mendamaikan (perselisihan) di antara mereka”. ’Aisyah berkata : ”Namun aku kira aku harus kembali, karena aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Bagaimana keadaan salah seorang di antara kalian apabila anjing-anjing menggonggong kepadanya ?”[5]

Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata, “Kemudian dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengurungkan keinginannya agar jenazahnya dimakamkan di kamarnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ismail bin Abi Khalid meriwayatkan dari Qais, ia bercerita bahwa tatkala ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan keinginannya agar jenazahnya dimakamkan di kamarnya, ia berkata, “Sesungguhnnya aku telah melakukan satu kesalahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, kuburkanlah aku bersama dengan istri-istri beliau yang lain.”

Maka Aisyah radhiyallahu ‘anha pun dikuburkan di pemakaman Baqi’ (letaknya di sebelah timur Masjid Nabawi).‘
Imam Adz Dzahabi rahimahullahu berkata, “Kesalahan yang dimaksud ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah keikut sertaannya dalam perang Jamal. Aisyah radhiyallahu ‘anha sangat menyesal dengan penyesalan yang amat dalam dan bertaubat atas kesalahan tersebut. Bahwasanya ia melakukannya karena ta’wil dan hanya mengharap kebaikan sebagaimana ijtihad Thalhah bin Abdullah, Zubair bin Awwam dan sahabat lainnya.” [6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan, “Aisyah juga menyesal karena ikut berangkat ke Basrah, dan tiap kali ia mengingat kejadian tersebut, ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya. Demikian pula Thalhah radhiyallahu ‘anhu yang menyesal karena mengira bahwa dirinya kurang maksimal dalam membela Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhumma, selain dengan cara itu. Zubair radhiyallahu ‘anhu pun juga menyesal karena berangkat pada saat Perang Jamal”.[7]

Beliau juga mengatakan, “Aisyah sebenarnya tidak ikut perang, dan tidak berangkat untuk berperang. Ia hanya berangkat dengan maksud mendamaikan kaum muslimin, dan mengira bahwa keikut sertaannya akan mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin. Akan tetapi kemudian ia sadar bahwa yang lebih baik ialah bila dirinya tidak berangkat. Sehingga tiap kali ia mengingat keberangkatannya ke Perang Jamal, iapun menangis hingga kerudungnya basah oleh air mata. Demikian pula seluruh sahabat yang tergolong assaabiquunal awwaluun. Mereka menyesali keterlibatan mereka dalam perang saudara, Thalhah, Zubeir, dan Ali semuanya menyesali hal tersebut. Tragedi Perang Jamal benar-benar diluar dugaan mereka, dan mereka sama sekali tidak punya niat untuk berperang.” [8]

Kembali pada permasalahan sebelumnya, kondisi yang semakin parah dan fitnah yang semakin meruncing, demikian pula makar Khawarij, Syiah Rafidhah, dan kaum munafik yang terus diembuskan, membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu semakin berat menegakkan qishash dan semakin kokoh mempertahankan ijtihad beliau demi kemaslahatan kaum muslimin.

Perlu menjadi perhatian, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya tidak menyelisihi keinginan wali Utsman dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang menghendaki ditegakkannya qishash. Beliau radhiyallahu ‘anhu sepakat dan berniat untuk menegakkan qishash. Namun, masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkan—menangkap pembunuh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu lalu memenggalnya. Tidak sesederhana itu. Orang-orang yang mengepung rumah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan berperan dalam pembunuhan beliau sangat banyak dan berpencar di tubuh kaum muslimin.

Ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu tidak sejalan dengan ijtihad sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ali radhiyallahu ‘anhu memiliki sisi pandang yang berbeda dengan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu melihat bahwa masa itu adalah zaman fitnah. Pembunuhan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu benar-benar merupakan fitnah yang demikian besar. Keadaan dan kondisi daulah benar-benar rumit dan membahayakan, baik internal maupun eksternal. Musuh-musuh Islam dari luar selalu mengintai dan melihat kelengahan kaum muslimin. Di samping itu, kaum munafik yang berada di dalam tubuh kaum muslimin juga mengintai dan menanti saat untuk menghancurkan Islam.

Dengan latar belakang kondisi daulah yang seperti ini, ‘Ali radhiyallahu ‘anhu melihat untuk memperbaiki kondisi daulah lebih dahulu agar situasi menjadi tenang dan normal setelah kepiluan dan mendung kelabu menimpa kaum muslimin. Baru setelah itu qishash atas darah Utsman radhiyallahu ‘anhu berusaha ditegakkan apabila memang wali Utsman menghendaki atau mungkin memaafkan dan diganti dengan diyat.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah: 178)

Terjadilah surat-menyurat antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhumma. Beliau mengutus Jarir bin Abdilah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu mengantar surat kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang berisi pemberitahuan bahwa sahabat Muhajirin dan Anshar telah memberikan bai’at kepada Ali radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu sangat mengharap Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu segera berbai’at kepada Ali sebagaimana manusia yang lain.

Sesampainya surat ke tangan Mu’awiyah, dipanggillah Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu dan pemuka-pemuka Syam untuk dimintai pendapat. Berakhirlah musyawarah Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu dengan tetap menolak bai’at sampai Ali radhiyallahu ‘anhu membunuh para pembunuh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu atau menyerahkannya kepada penduduk Syam. Kembalilah Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dengan hasil ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu tersebut….

Dua hari berlalu kedua sahabat mulia tidak melakukan surat-menyurat.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengutus Basyir bin ‘Amr al-Anshari, Sa’id bin Qais al-Hamdani, dan Syabts bin Rib’i at-Tamimi menemui Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. “Pergilah kalian kepadanya. Ajak dia dalam ketaatan dan jamaah. Kalian dengarkan jawaban Mu’awiyah.”

Setelah mereka bertemu Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, perbincangan tetap berakhir pada kekokohan Mu’awiyah di atas ijtihad beliau untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebelum memberikan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.[9]

Akhirnya, kedua pasukan bertemu. Perang tidak dapat dielakkan. Terjadilah seperti apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen.).”[10]Dua kelompok itu adalah kelompok ‘Ali dengan orang-orang yang bersamanya dan kelompok Mu’awiyah dengan orang-orang yang bersamanya, sebagaimana diungkapkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Baari.

Peperangan yang terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyah sebenarnya tidak diinginkan oleh salah seorang dari keduanya. Akan tetapi di dalam dua pasukan tersebut terdapat para pengikut hawa nafsu yang mendominasi dan selalu berusaha untuk melakukan peperangan. Hal inilah yang menyebabkan berkecamuknya peperangan dan keluarnya perkara dari kekuasaan (kendali) ‘Ali juga Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma.

AKHIR PEPERANGAN

Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang terbunuh sangat besar, seperti berita Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam puluhan tahun silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”

Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu dan Abu Musa al-‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dari pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih.

Dalam Perang Shiffin, tidak ada shahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, , Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum.

Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata ketika diajak berperang,
“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.” [11]

Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah subhanahu wata’ala. Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhumma. Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terus menyibukkan diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.

Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan & Keutamaan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum

Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu menggantikan posisi ayahandanya.

Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah ta’ala, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yang sebelumnya berselisih.

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Terwujudlah berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:

Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. [12]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah subhanahu wata’ala ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” [13]
Itulah keutamaan Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.

Catatan Kaki:
[1] . HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952, serta dinyatakan sahih oleh al-Albani rahimahullahu dalam Shahih al-Jami’ no.1773
[2] al-Bidayah wa Nihayah 7/239 karya Ibnu Katsir rahimahullahu
[3]Musnad Al-Imam Ahmad 2/393 – beserta hamisy (catatan pinggir) Muntakhab Kanzil-’Ummaal.
Hadits ini adalah hasan. Lihat Fathul-Bari 13/55.
Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani. Para perawinya adalah terpercaya” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].
[4]Al-Hauab adalah sebuah tempat yang terletak dekat Bashrah. Ia merupakan salah satu mata air bagi bangsa Arab di jaman Jahimiyyah. Tempat ini berada di jalan yang dilalui orang-orang yang datang dari Makkah ke Bashrah. Tempat ini disebut Hauab sebagai nisbat kepada Abu Bkr bin Kilaab Al-Hauab. Atau dinisbatkan kepada Al-Hauab binti Kalb bin Wabrah Al-Qadla’iyyah.
Lihat : Mu’jamul-Buldaan 2/314 dan catatan kaki Muhibbuddin Al-Khaathib atas kitabAl-’Awaashim minal-Qawaashim hal. 148.
[5] Mustadrak Al-Hakim 3/120.
Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya sesuai syarat As-Shahih”. Lihat : Fathul-Bari 13/55.
Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, dan Al-Bazzar; rijalnya Ahmad adalah rijal Ash-Shahih” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].
Hadits tersebut tercantum dalam Musnad Al-Imam Ahmad 6/52 dengan hamisy (catatan pinggir)-nya Mutakhab Kanzil-’Ummaal.
[6] Siyar A’lam An-Nubala’ 2/193
[7] Minhajjus Sunnah (6/129)
[8] Minhajjus Sunnah 4/170
[9]Lihat Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ibnu Jarir ath-Thabari (4/573) dan al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (7/280).
[10]Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab (tanpa bab) (XIII/8, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/12-13, Syarh an-Nawawi)
[11] HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi rahimahullahu
[12] HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704
[13] al-Bidayah wan Nihayah 8/122 karya Ibnu Katsir rahimahullahu

Sumber 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.