Hikmah - Cinta Alquran Selamatkan Hidup

Oleh Prof Nashruddin Baidan

Boleh jadi ada yang sinis dan bahkan tidak percaya terhadap judul di atas. Namun, bagi orang yang paham Alquran apalagi yang menghayati dan mendalaminya secara substantif, pasti akan berkata, ungkapan itu benar dan amat logis. Mari kita buktikan kebenaran ungkapan itu dengan mengamati fungsi Alquran dalam kehidupan; baik secara individual, berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara.

Tidak asing lagi bagi kita, umat Islam, sejak diturunkannya Kitab Suci itu lebih dari 14 abad yang silam sudah dideklarasikan ke seluruh dunia bahwa dia adalah penuntun kehidupan umat manusia (QS 2:185) di manapun mereka berada. Itu artinya jika ingin selamat menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi ini, tidak ada jalan lain kecuali mengfungsikan Alquran secara maksimal dalam realitas keseharian kita. Bagaimana caranya? Inilah yang akan dibahas di sini.

Pertanyaan yang mendasar dalam konteks ini ialah benarkah kita telah mencintai Alquran? Kalau jawabannya 'ya', berarti kita punya komitmen kuat menjadikan Alquran sebagai teman hidup kita, teman sejati, sehidup semati, seiya sekata. Di manapun berada, kita selalu bersamanya. Dalam keadaan sakit atau senang, susah atau sulit, sempit atau lapang, dan sebagainya, kita tetap bersama Alquran.

Pendek kata, manakala cinta telah bersemi, apalagi telah terpatri di lubuk hati yang paling dalam di antara dua sosok yang berkasih sayang, di antara habib dan mahbub, maka tidak ada lagi gap yang membatasi antara keduanya, apalagi yang memisahkan keduanya. Mereka selalu bersama, berinteraksi, saling senyum, saling bertegur-sapa, satu sama lain. Alangkah indahnya cinta itu.

                                                        ***
Tapi, mari kita merenung sejenak, pejamkan mata lahir dan buka lebar-lebar mata batin (bashirah) kita, pandanglah dalam-dalam ke sanubari kita dan bertanyalah kepada diri kita masing-masing, betulkah kamu wahai diriku telah mencintai Alquran? Mengapa kamu tidak bertegur-sapa dengannya sebagai layaknya dua insan yang bercinta yakni dengan membaca dan merenungkan pesan-pesannya?

Tanyakan juga mengapa kamu biarkan dia tergeletak sendirian di rak-rak buku, kedinginan, tanpa kamu temani, kamu sentuh, apalagi kamu peluk dan cium bagaikan kekasih tersayang? Bukankah Ramadhan ini dijuluki Rasul sebagai Syahrul Qur’an bulan bermesraan dengan Alquran? Paling tidak kamu bercengkrama, bermesraan dengannya setiap malam dengan bertadarus secara tartil serta memahami bisikan-bisikan hidayah yang diembuskannya ke nuraninya minimal kamu baca satu juz sehingga di akhir Ramadhan nanti kamu pasti khatam satu kali.

Wahai diriku yang malang! Kalau kamu memang mencintai Alquran, mengapa kamu tidak beranjak sedikit pun ketika dia meminta kamu berhenti berbuat maksiat, malah sebaliknya, kamu doyan melakukannya, sehingga korupsimu makin menjadi-jadi, kolusimu tidak tanggung-tanggung, bahkan prostitusi kamu lakukan terang-terangan tanpa rasa malu sedikit pun. Masih pantaskah kamu disebut kekasih Alquran atau lebih pantas kamu dijuluki pecundang Alquran?

Tidak hanya itu kawan! kamu pun tidak bersemangat melakukan amar makruf yang dimauinya. Fakir miskin kamu biarkan telantar, pengangguran tidak kamu pedulikan; sehingga mereka terpaksa mencari sesuap nasi ke negeri orang di luar negeri, menjadi TKW, dan sebagainya. Sampai di sana bukannya mendapatkan kesejahteraan, malah pulang ke kampung membawa penderitaan setelah diperkosa oleh majikannya.

Kalaupun sekali-kali kamu ikuti kemauan Alquran sebagai kekasihmu, itu pun dibarengi interes-interes pribadi yang konyol. Misalnya kalau mau maju sebagai capres, caleg, cagub, cabub, cawalkot, atau apa pun posisinya, maka kamu membagi-bagi sembako, perbaikan jalan kampung, sering ke posyandu, bantu masjid, sekolah, majelis taklim, dan sebagainya. Singkat cerita kamu berusaha mendekat kepada rakyat sedekat-dekatnya agar mereka menjatuhkan pilihan kepada dirimu untuk memenangkan pemilihan yang akan diadakan.

Setelah menang, kamu kembali lagi ke habitatmu: tidak peduli dengan mereka. Kemudian setelah 5 (lima) tahun berlalu, kamu pun kembali lagi kepada mereka untuk meminta dukungan, begitulah siklusnya perilakumu. Masih pantaskah kamu disebut cinta Alquran?

Sungguh teramat naif jika kamu masih berani mengaku kekasih Alquran padahal perilakumu sedikit pun tidak mengejawantahkan rasa cinta itu. Malah sebaliknya terkesan merongrong dan menghalanginya, bahkan secara faktual tampak menanamkan kebencian terhadapnya.

                                                        ***
Apabila bangsa kita benar-benar mencintai Alquran dalam arti yang sesungguhnya dan dari lubuk hati yang paling dalam, maka tidak diragukan lagi, bangsa ini pasti bangkit kembali dan akan meraih kemajuan yang amat pesat di masa mendatang. Hal itu dimungkinkan karena tidak akan ada lagi kejahatan; baik kejahatan moral, kejahatan ekonomi, maupun kejahatan kemanusiaan.

Itulah inti tuntunan Alquran. Jadi, benarlah ungkapan, "Cinta Alquran penyelamat hidup." Demikian sekelumit renungan dalam memperingati malam Nuzul Alquran. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.