Masihkah Ada Harapan untuk Berubah?

Daulat rakyat telah berganti menjadi daulat modal. Berbagai segi kehidupan pelan tapi pasti mulai dikendalikan kepentingan modal. Kehidupan rakyat kecil semakin terdesak dan tidak mendapat tempat lagi, kecuali hanya dibicarakan sebagai pemanis pidato. Kenyataannya, kepentingan rakyat kecil sering kali dikorbankan demi keuntungan ekonomis tertentu.

Negara makin abai dengan penderitaan rakyatnya. Para elitenya makin tidak peka dengan derita rakyat kecil yang hidup penuh kesengsaraan. Para elite hanya mempertimbangkan kepentingan dan keuntungan pribadinya semata. Dalam suasana seperti itulah korupsi terus-menerus dilakukan dengan berbagai cara. Korupsi telah menyandera sendi-sendi kehidupan berbangsa kita.

Kita hidup di negeri yang sangat ironis. Negeri dengan kekayaan alam melimpah tetapi tidak dinikmati pemiliknya. Justru sebagian besar kekayaan bangsa kita dinikmati bangsa asing. Semua terjadi karena perilaku elite yang hanya mementingkan keuntungan jangka pendek. Hasilnya, kita bagaikan anak ayam yang mati di lumbung padi. Mati kelaparan menyaksikan kekayaan yang dicuri dengan berbagai macam cara. Perhatikanlah kekayaan migas, batu bara, perkebunan, hutan, dan lainnya. Rakyat hanya menikmati sebagian sangat kecil dari pengelolaan itu semua.

Ironis. Penerimaan negara, yang juga sering dikorupsi para elite, tidak sebanding dengan kehancuran pengelolaan sumber daya alam itu. Semuanya berlangsung di atas kata-kata manis pembangunan bangsa dan perbaikan nasib hidup rakyat kecil.

Semakin ironis ketika kita juga disuguhi fakta lain yang tak kalah menyedihkan. Di negeri yang pernah melakukan swasembada pangan, kita justru melakukan impor semua bahan pokok: gula, kedelai, jagung, beras, garam, kacang tanah, bahkan cabai. Lahan kita sudah tidak menghasilkan pangan untuk kebutuhan sendiri akibat pola pikir liberal yang diterapkan para elite. Elite menikmati keuntungan dari semua itu dalam jangka pendek, dan kehidupan rakyat semakin hancur dalam situasi ini.

Orang miskin dilaporkan mengalami penurunan. Kebiasaan elite untuk memanipulasi data orang miskin tidak pernah berubah. Semua dilakukan untuk bermanis-manis di hadapan rakyat bahwa program pembangunan yang dilakukan selama ini berhasil mengatasi kemiskinan. Kenyataannya, baik kuantitas maupun kualitas kemiskinan dirasakan semakin meningkat.

Sibuk Pencitraan
Semakin banyak rakyat tidak tahan dengan kerasnya kehidupan ini. Semakin banyak orang tidak tahan dengan perangai elite yang kerap berbohong. Semakin banyak pula yang apatis memikirkan masa depan bangsa ini. Inilah gambaran nyata mengapa pemerintah kerap dianggap tidak ada walau ada, dan dianggap ada walau kenyataannya tidak ada.

Realitasnya, pemerintah memang ada, namun begitu jarang hadir ketika rakyat membutuhkan kehadirannya, untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman. Pemerintah begitu minim dalam memberikan pertolongan karena bencana alam, melindungi hak ekonomi rakyat, melindungi kaum minoritas, dan lainnya. Yang begitu sering dilihat adalah para pejabat publik yang sibuk mengurusi hal-hal yang tidak substansial. Lebih sering bersolek daripada sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan rakyat.

Pemerintah hanya bisa berjanji, janji yang jauh dari realisasi. Rakyat hanya menjadi penonton di negerinya sendiri. Dengan mata telanjang kita menyaksikan sumber daya dan kekayaan alam dikeruk dan dinikmati segelintir orang. Kebijakan yang pro rakyat sangat langka. Kebijakan pro orang kaya dan pro orang kuat lebih banyak kita temukan.

Penguasa abai membaca jurang kesenjangan yang kian mendalam dan melebar ini. Jaminan dalam konstitusi bahwa menjadi fakir miskin akan “aman” bersama negara tidak terbukti. Fakir miskin justru makin “sengsara” bila bersentuhan dengan negara.

Nyaris tiap hari di media kita saksikan bagaimana nasib rakyat kecil dibuat tambah sengsara. Mereka yang berusaha tidak malah difasilitasi malah diusir, peralatan usahanya disita, orangnya digebuk. Apakah yang ada dalam benak penguasa merancang dan menjalankan kebijakan seperti itu, tidak pernah bisa kita mengerti dengan akal sehat. Sungguh menyedihkan karena kita berharap pemerintah era Reformasi bisa berbuat lebih baik daripada rezim sebelumnya. Menyedihkan karena sejauh ini gerak perubahan menuju ke arah yang lebih baik belum juga terasa.

Bertahun-tahun kita hidup di negeri tanpa pengharapan. Penguasa kerap menyia-nyiakan peluang dan kesempatan untuk memulihkan bangsa ini menjadi negeri yang sejahtera. Mereka membuang kesempatan itu akibat kekuasaan yang begitu mudah diberikan kepada segelintir orang yang menguasai modal. Akibatnya, politik pun tersandera kepentingan pemodal, kebijakan pun diarahkan untuk semata-mata keuntungan pemodal, dan rakyat kecil selalu gigit jari menyaksikan semua pertunjukan yang tak elok ini.

Pembangunan dilakukan dengan segenap manipulasi. Sebagaimana orde sebelumnya, kini juga begitu. Pembangunan dipenuhi dengan segenap manipulasi. Pembangunan hanya merupakan kedok untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak digunakan untuk kemakmuran bangsa. Semakin lama bangsa ini tersandera oleh kepentingan kapital yang berselingkuh secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dengan kekuasaan politik-birokrasi.

Inilah yang membuat wajah masa depan ini suram. Kita kehilangan harapan dan cita-cita bersama sebagai bangsa. Kita berhadapan dengan realitas semakin banyaknya rakyat yang sudah pesimistis dan bahkan putus asa dengan kerja pemerintah yang mementingkan pencitraan semata. Semua kebijakan dan program dirancang demi kepentingan jangka pendek dan keuntungan elite. Pertumbuhan ekonomi yang dibangga-banggakan nyatanya tidak membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan masyarakat, khususnya yang ada di lapisan bawah.

Kemandirian
Sampai di sini kita pun bertanya masih adakah sisa-sisa tenaga kita untuk bangkit dari berbagai keterpurukan ini. Sampai di mana kita mampu mengembalikan semangat untuk mandiri, dari ketergantungan luar biasa segenap sisi kehidupan bangsa ini? Semuanya perlu dipertanyakan kepada para elite bangsa ini. Mereka yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan negara ini apakah akan membenamkan sekalian ke dasar jurang atau berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan jati diri, harkat, dan martabat bangsa ini.

Kita merindukan elite dan pemimpin bangsa ini yang bersama-sama bahu-membahu untuk mengangkat derajat rakyat, membangun bangsa ini tanpa pamrih. Pemimpin yang benar-benar memahami derita rakyatnya dan membantunya semaksimal mungkin. Bukan pemimpin yang selalu berkelit atas penderitaan rakyat yang terjadi.

Oleh : Benny Susetyo
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.