Di Mana Ada Kemauan, Di Situ Ada Jalan!
Meski anak petani kecil, saya harus bertekad sekolah tinggi. Alhamdulillah, Allah memudahkan, kini, saya sedang melanjutkan program doktor bidang pendidikan
SAYA punya pengalaman buruk. Dulu, ketika SMA, saya pernah ikut olimpiade sains tingkat propinsi yang bertempat di Semarang, Jawa Tengah. Ketika itu, saya hanya bisa berada di posisi sepuluh besar. Kendati jauh dari yang saya harapkan, tapi saya tak kecewa. Setidaknya, saya telah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi, hal yang membuat saya sangat kecewa adalah para peserta yang dapat juara ternyata si “mata sipit”, China. Tak ada satu pun pelajar pribumi Muslim. Saya sendiri ketika itu utusan dari sekolah kecil di kota terpencil Grobogan. Tak pelak, sebagai pelajar pribumi Muslim, hal itu membuatku kurang PD.
Pengalaman itulah yang memompa semangatku agar lebih semangat belajar dan berprestasi. Tak sewajarnya kalah dengan mereka yang berbeda agama apalagi minoritas jumlahnya. Padahal, sebagai Muslim, seharusnya memiliki kualitas ilmu yang jauh lebih dahsyat ketimbang mereka. Bukankah sejarah Islam selama ini mengatakan, umat Islam selalu mendapat kemenangan dalam setiap pertempuran. Padahal, jumlah mereka lebih sedikit.
Sejak itu, saya berniat belajar hingga doktor meski kondisi ekonomi sangat tipis. Orangtuaku hanya petani kecil biasa. Hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, mustahil jika untuk biaya kuliahku. Usai SMA, saya melanjutkan perguruan tinggi swasta di Surabaya. Alhamdulillah, selama kuliah, saya mendapat beasiswa penuh; SPP, makan plus asrama. Saya pun hanya tinggal mencari biaya tambahan sehari-hari untuk buku, sabun dan lain sebagainya.
Untuk mendapatkan itu, saya terkadang ngajar les private, jual majalah hingga menjadi juru pungut donatur di sebuah lembaga amil zakat. Semuanya saya lakukan dengan senang hati hingga lulus kuliah. Selama kuliah saya jadi mahasiswa terbaik dan ketika lulus pun dengan predikat cum laude. Satu tangga sudah saya lalui. Plong.
Seperti cita-cita tadi. Saya haru terus kuliah. Saya harus tapaki tangga lainnya lagi yang masih tinggi dan mendaki. Karena itu, setahun usai S1, saya kemudian melanjutkan S2 di perguruan tinggi negeri ternama di kota Jember, Jatim. Padahal, waktu itu tak punya modal, hanya yakin saja di mana ada kemauan di sana ada jalan. Betul saja, setelah kuliah S2, ternyata rezeki datang dari mana saja. Tak terduga.
Untuk memenuhi biaya S2 dan kebutuhan lainnya, saya membuka bimbingan belajar (Bimbel). Saya mengumpulkan puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jember untuk jadi guru les di tempat bimbel yang telah saya buat. Dari situ, saya bisa memiliki ratusan murid les. Setiap bulannya saya bisa meraup bersih Rp. 3 juta lebih. Setidaknya, dari usaha itu bisa menutupi biaya kuliahku. Hal itu pun membuat saya jadi lebih yakin bahwa jika ada kemauan, pasti ada jalan. Tinggal mau berusaha atau tidak.
Jalan mulus pun tak jarang saya lalui selama menimba ilmu. Ketika itu ada seorang kenalan yang ingin menjual tanahnya, luasnya sekitar 10 hektar. Dia minta dicarikan pembeli. Kebetulan, dosen saya punya rekan yang butuh lahan untuk membuka usaha.
Dan, Alhamdulillah cocok. Saya pun berhasil memediasikan jual beli itu. Tak disangka, dari hasil cuap-cuap itu saya dapat imbalan fantastis. Padahal, di awal, saya tak mematok harga atas apa yang saya lakukan itu. Uang cukup banyak itu lalu saya investasikan untuk membeli pohon sengon. Sekitar dua tahun, waktu normal kuliah S2, saya akhirnya lulus juga. Tangga ke dua berhasil saya lalui. Plong.
Melanjutkan sekolah
Usai lulus S2, saya pun langsung melanjutkan ke jenjang doktor. Saya mengambil di perguruan tinggi negeri ternama di Semarang, Jateng dengan jurusan yang sama. Seperti sebelumnya, saya memciptakan usaha untuk menopang biaya kuliah dan hidup. Saya membuka usaha warteg. Kini sudah ada tujuh warteg yang saya kelola. Selain itu saya juga bisnis lainnya; jual beli batik dan sebagainya.
Dari situ saya sudah cukup mendapat keuntungan. Tak hanya itu, tesis saya, “Marketing Sekolah” juga dibeli Dikti seharga Rp 50 juta. Selama kuliah, S1, S2 hingga S3 (masih proses), saya merasakan ada bukti dari falsafah itu; "Jika ada kemauan pasti ada jalan."
Saya pun semakin yakin untuk menapaki tangga-tangga lainnya yang masih tinggi dan terjal. Asal ada keingginan dan usaha yang keras.
Tapi, tangga-tangga yang saya lalui itu tidak hanya untuk sekedar mengoleksi gelar saja. Jauh dari itu, saya ingin membangun lembaga pendidikan yang berkualitas yang mampu menciptakan out put unggul baik di bidang agama maupun umum. Menciptakan pelajar Muslim yang tidak kalah hebat.
Mungkin, orang yang mengetahui cita-citaku itu akan pesimistis atau setidaknya mencemooh “Masa anak petani miskin punya cita-cita tinggi.” Tapi, saya tetap yakin, di mana ada keinginan pasti ada jalan. Dan, keinginan itu pun telah saya rintis.
Insya Allah, saya akan membeli lahan di sebuah daerah dingin yang representatif di daerah Semarang. Di sana, jika tidak ada aral melintang, rencananya akan membangun lembaga pendidikan. Saya pun telah merancangnya dari sekarang. Hasil dari investasi 20 hektar pohon sengon pun akan saya tanamkan di situ. InsyaAllah.
SAYA punya pengalaman buruk. Dulu, ketika SMA, saya pernah ikut olimpiade sains tingkat propinsi yang bertempat di Semarang, Jawa Tengah. Ketika itu, saya hanya bisa berada di posisi sepuluh besar. Kendati jauh dari yang saya harapkan, tapi saya tak kecewa. Setidaknya, saya telah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi, hal yang membuat saya sangat kecewa adalah para peserta yang dapat juara ternyata si “mata sipit”, China. Tak ada satu pun pelajar pribumi Muslim. Saya sendiri ketika itu utusan dari sekolah kecil di kota terpencil Grobogan. Tak pelak, sebagai pelajar pribumi Muslim, hal itu membuatku kurang PD.
Pengalaman itulah yang memompa semangatku agar lebih semangat belajar dan berprestasi. Tak sewajarnya kalah dengan mereka yang berbeda agama apalagi minoritas jumlahnya. Padahal, sebagai Muslim, seharusnya memiliki kualitas ilmu yang jauh lebih dahsyat ketimbang mereka. Bukankah sejarah Islam selama ini mengatakan, umat Islam selalu mendapat kemenangan dalam setiap pertempuran. Padahal, jumlah mereka lebih sedikit.
Sejak itu, saya berniat belajar hingga doktor meski kondisi ekonomi sangat tipis. Orangtuaku hanya petani kecil biasa. Hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, mustahil jika untuk biaya kuliahku. Usai SMA, saya melanjutkan perguruan tinggi swasta di Surabaya. Alhamdulillah, selama kuliah, saya mendapat beasiswa penuh; SPP, makan plus asrama. Saya pun hanya tinggal mencari biaya tambahan sehari-hari untuk buku, sabun dan lain sebagainya.
Untuk mendapatkan itu, saya terkadang ngajar les private, jual majalah hingga menjadi juru pungut donatur di sebuah lembaga amil zakat. Semuanya saya lakukan dengan senang hati hingga lulus kuliah. Selama kuliah saya jadi mahasiswa terbaik dan ketika lulus pun dengan predikat cum laude. Satu tangga sudah saya lalui. Plong.
Seperti cita-cita tadi. Saya haru terus kuliah. Saya harus tapaki tangga lainnya lagi yang masih tinggi dan mendaki. Karena itu, setahun usai S1, saya kemudian melanjutkan S2 di perguruan tinggi negeri ternama di kota Jember, Jatim. Padahal, waktu itu tak punya modal, hanya yakin saja di mana ada kemauan di sana ada jalan. Betul saja, setelah kuliah S2, ternyata rezeki datang dari mana saja. Tak terduga.
Untuk memenuhi biaya S2 dan kebutuhan lainnya, saya membuka bimbingan belajar (Bimbel). Saya mengumpulkan puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jember untuk jadi guru les di tempat bimbel yang telah saya buat. Dari situ, saya bisa memiliki ratusan murid les. Setiap bulannya saya bisa meraup bersih Rp. 3 juta lebih. Setidaknya, dari usaha itu bisa menutupi biaya kuliahku. Hal itu pun membuat saya jadi lebih yakin bahwa jika ada kemauan, pasti ada jalan. Tinggal mau berusaha atau tidak.
Jalan mulus pun tak jarang saya lalui selama menimba ilmu. Ketika itu ada seorang kenalan yang ingin menjual tanahnya, luasnya sekitar 10 hektar. Dia minta dicarikan pembeli. Kebetulan, dosen saya punya rekan yang butuh lahan untuk membuka usaha.
Dan, Alhamdulillah cocok. Saya pun berhasil memediasikan jual beli itu. Tak disangka, dari hasil cuap-cuap itu saya dapat imbalan fantastis. Padahal, di awal, saya tak mematok harga atas apa yang saya lakukan itu. Uang cukup banyak itu lalu saya investasikan untuk membeli pohon sengon. Sekitar dua tahun, waktu normal kuliah S2, saya akhirnya lulus juga. Tangga ke dua berhasil saya lalui. Plong.
Melanjutkan sekolah
Usai lulus S2, saya pun langsung melanjutkan ke jenjang doktor. Saya mengambil di perguruan tinggi negeri ternama di Semarang, Jateng dengan jurusan yang sama. Seperti sebelumnya, saya memciptakan usaha untuk menopang biaya kuliah dan hidup. Saya membuka usaha warteg. Kini sudah ada tujuh warteg yang saya kelola. Selain itu saya juga bisnis lainnya; jual beli batik dan sebagainya.
Dari situ saya sudah cukup mendapat keuntungan. Tak hanya itu, tesis saya, “Marketing Sekolah” juga dibeli Dikti seharga Rp 50 juta. Selama kuliah, S1, S2 hingga S3 (masih proses), saya merasakan ada bukti dari falsafah itu; "Jika ada kemauan pasti ada jalan."
Saya pun semakin yakin untuk menapaki tangga-tangga lainnya yang masih tinggi dan terjal. Asal ada keingginan dan usaha yang keras.
Tapi, tangga-tangga yang saya lalui itu tidak hanya untuk sekedar mengoleksi gelar saja. Jauh dari itu, saya ingin membangun lembaga pendidikan yang berkualitas yang mampu menciptakan out put unggul baik di bidang agama maupun umum. Menciptakan pelajar Muslim yang tidak kalah hebat.
Mungkin, orang yang mengetahui cita-citaku itu akan pesimistis atau setidaknya mencemooh “Masa anak petani miskin punya cita-cita tinggi.” Tapi, saya tetap yakin, di mana ada keinginan pasti ada jalan. Dan, keinginan itu pun telah saya rintis.
Insya Allah, saya akan membeli lahan di sebuah daerah dingin yang representatif di daerah Semarang. Di sana, jika tidak ada aral melintang, rencananya akan membangun lembaga pendidikan. Saya pun telah merancangnya dari sekarang. Hasil dari investasi 20 hektar pohon sengon pun akan saya tanamkan di situ. InsyaAllah.
Post a Comment