Hikmah - Mendamba “Sakinah”
dakwatuna.com - Setiap kita menghadiri upacara pernikahan, kalimat “keluarga sakinah” menjadi kalimat yang selalu kita dengar. Kalimat itu seakan menjadi sebuah paket dalam setiap khutbah nikah, atau ucapan dan doa setiap tamu yang datang, bahkan yang berhalangan hadir, juga mengirim pesan singkat dengan tak lupa menyelipkan dua kata tersebut. Lalu bagaimanakah yang dimaksud keluarga sakinah?
Kalimat tersebut memang dikutip dari sebuah ayat qur’an surat Arrum ayat 21
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Ia ciptakan bagimu pasangan-pasangan dari dirimu sendiri agar kamu hidup tenang (litaskunu= sakinah) bersamanya dan dijadikan diantaramu rasa mawaddah wa rohmah (kasih dan sayang) antara mereka berdua. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda kekuasaan bagi orang yang berpikir”.
Lalu di manakah akan ditemukan sakinah itu?
Apakah sakinah didapat pada kecantikan atau kegantengan pasangan suami istri? Kalau sakinah itu dapat diciptakan /dihadirkan oleh pasangan yang cantik dan ganteng, mengapa banyak pasangan artis yang cantik dan ganteng tapi mereka bercerai?
Apakah sakinah itu ditemukan pada ketersediaan harta sebagai persiapan menuju gerbang pernikahan? Kalau sakinah itu didapat dari harta, mengapa banyak pasangan orang kaya yang ketika pesta perkawinan menghabiskan ratusan juta rupiah namun rumah tangganya kandas?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali kepada Allah sebagai sang maha Pencipta. Allah menciptakan manusia, juga menciptakan perangkat –perangkatnya untuk keberlangsungan hidup manusia baik perangkat keras seperti alam beserta isinya tanah, air udara, tumbuhan, hewan dan sebagainya yang semua disiapkan/ dihamparkan untuk manusia
Di samping itu Allah juga menyiapkan perangkat-perangkat lunaknya berupa aturan baku yang berupa Al-Qur’an dan contoh aplikasi pelaksanaannya yaitu Rasulullah dan semua perikehidupannya.
Dari kerangka berpikir seperti ini, ternyata kehidupan berkeluarga adalah system langit yang diturunkan kepada manusia, karena Allah yang menciptakan manusia maka Allah yang paling tahu tentang makhluk ciptaannya. Sehingga kita harus yakin bahwa Al-Qur’an dijamin pasti cocok dengan kehidupan manusia.
Kembali ke ayat diatas, ternyata Allahlah yang menghadirkan rasa sakinah, mawaddah dan rahmah itu kedalam hati kedua pasangan, bukan karena ganteng/ cantiknya juga bukan karena hartanya.
Bagaimana supaya manusia mendapatkan sakinah, mawaddah wa rahmah sesuai dengan apa yang Allah janjikan? Tentu Allah tak pernah ingkar janji.
Lalu sakinah itu apa siiih…? Apakah rumah tangga sakinah itu ga pernah rebut? Suami istri rukuuun terus. Ga pernah berantem?
Kalau ukuran sakinah(ketenangan) diartikan rumah tangga yang rukun ga pernah berantem, saya kira di jagad ini tak akan ditemukan keluarga yang seperti itu, karena Al-Qur’an banyak sekali bercerita tentang gejolak rumah tangga di masa Rasulullah yang menimbulkan riak-riak gelombang, bahkan terjadi dalam rumah tangga Rasulullah sang Teladan Agung.
Mustahil dalam kehidupan rumah tangga tidak pernah ada konflik, karena sejatinya pernikahan menyatukan dua anak manusia yang berbeda jenis dan berbeda latar belakang kehidupan. orang yang hidup bersaudara kakak beradik dari sumber dan latar belakang yang sama pasti ada masalah. Apatah lagi suami istri. Hanya bedanya adalah bagaimana cara mengelola konflik tersebut sehingga masalah-masalah yang ada tidak menimbulkan guncangan yang dahsyat yang menyebabkan pecahnya bahtera/rumah tangga.
Lalu bagaimana caranya?
Caranya adalah mengembalikan setiap masalah yang ada kepada rujukan pertama dan utama yaitu Al-Qur’an. Masalah diselesaikan dengan kembali kepada perangkat lunak yang telah Allah sediakan bukan mendahulukan hawa nafsu.
Kita bisa lihat kisah kecemburuan para istri Rasulullah yang menyebabkan terjadi keributan sampai nabi merasa perlu menyenangkan salah seorang istrinya dengan mengharamkan madu. Padahal madu itu halal bagi manusia. Lalu Allah menegur nabi dengan turunnya surat At-Tahrim sebagai koreksi. Dalam hal ini nabi mencoba menyelesaikan konflik dengan ijtihad sendiri (mengharamkan madu yang disediakan di rumah Zainab salah satu istrinya) demi menyenangkan istri yang lain. (lebih lengkap simak tulisan saya dalam Tafsir surat At-Tahrim)
Kisah lain dalam Al-Qur’an adalah surat Al-Mujadilah (wanita yang menggugat). Ini bukan cerita gugat cerai, tapi kisah kesabaran seorang shohabiyah bernama Khaulah binti Tsa’labah yang menghadapi perangai buruk suaminya yang tua, miskin, mulutnya usil suka “Ngatain” istri. Cerita berawal ketika suaminya berkata:”kamu seperti punggung ibuku” kalimat seperti ini di masyarakat arab ketika itu disebut “Zihar”. Tidak lama setelah sang suami bicara seperti itu dia menginginkan Khaulah melayaninya untuk “berkumpul”. Namun Khaulah menolak sebelum jelas apa hokum bagi suami yang “Ngatain” istri seperti punggung ibunya. Maka bertanyalah Khaulah kepada Rasulullah tentang masalah ini. Maka turunlah surat Al Mujadilah.
Menurut ayat tersebut, suami sudah jatuh talak dengan ucapan zihar tersebut. Pelajaran pentingnya adalah jangan bermain-main dengan ucapan cerai/talak karena bisa jatuh hokum Talak walaupun Cuma iseng saja, tanpa niat bercerai.
Apabila ingin rujuk kembali, maka sang suami wajib membatalkannya dengan membayar kafarat, membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Ujung cerita, karena suaminya sudah tua dan miskin tak mungkin sanggup berpuasa 2bulan berturut turut, tak punya dana untuk membebaskan budak, akhirnya pilihan ketiga yang diambil yaitu memberi makan 60 orang miskin. Inipun suaminya tidak punya harta. Akhirnya dibantu oleh Rasulullah dan Khaulah dengan 2 gantang kurma untuk diberikan kepada orang miskin.
Nah… kita kembali ke soal sakinah. Setiap hamba yang merasa sudah siap untuk berkeluarga, maka jalannya adalah menikah bukan berzina. Karena menikah adalah bagian dari ibadah dan sunnah Rasul yang diajarkan dalam Islam. Orang yang berniat dan berusaha menjalankan perintah Allah, pasti Allah mudahkan jalannya. Sakinah (ketenangan) itu pasti Allah turunkan kepada pasangan tersebut.
Seorang pria sebelum menikah, hidupnya gersang tak punya arah. Apalagi banyak “Zulaiha” yang mencari perhatian pada para “Yusuf”. Bagi mereka para”Yusuf”, demikian banyak “zulaiha” dengan segala tingkah polahnya, membuat mereka bingung. Hartanya biasanya dihabiskan untuk kesenangan belaka yang kadang jauh dari nilai manfaat, sehingga tidak memberi berkah pada harta itu. Namun ketika dia sudah menikah, hartanya digunakan untuk menafkahi keluarganya dan setiap sen yang dikeluarkan menjadi pahala dan berkah.
Seorang wanita sebelum menikah mungkin sering mencari perhatian lawan jenis dengan cara bicaranya, gaya berpakaiannya dan sebagainya dalam rangka mencari tambatan hati. Begitu sang wanita menikah, dia sudah menemukan pelabuhan jiwanya sehingga semua perilakunya .
Dua hati yang bersatu dalam ikatan pernikahan akan Allah berikan rasa cinta kasih yang akan memberikan ketenangan. Suami tenang meninggalkan rumah karena yakin istrinya akan menjaga diri dan hartanya. Istri tenang melepas suaminya pergi karena yakin suaminya akan mencari nafah untuk keluarganya, dan pasti akan kembali ke rumah.digunakan untuk menyenangkan suaminya.
Keyakinan itu Allah yang turunkan. Setiap ada permasalahan diantara mereka, keduanya berusaha menyelesaikannya, tidak membawa egonya masing-masing tetapi mengembalikan masalah dengan merujuk kepada hukum Allah.
Lalu apa itu Mawaddah?
Mawaddah adalah cinta kasih yang saling memikat sehingga keduanya menjalankan “hubungan suami istri” dalam ikatan yang sah. Darinya Allah menginginkan keberlangsungan kehidupan manusia yang turun temurun. Islam tidak mengenal istilah ayah biologis. Atau anak biologis. Seorang anak yang lahir dari pasangan yang diikat secara sah otomatis bernasab dan berwali kepada ayahnya. Anak yang lahir diluar hubungan yang sah tidak memiliki ayah. Ia hanya bernasab dengan ibunya.
Bagaimana yang terjadi perselingkuhan dan perceraiain? Mengapa Allah tidak turunkan sakinah kepada mereka?
Mungkin pasangan tersebut mengawali pernikahannya bukan berangkat dari keikhlasan untuk mengikuti Sunnah Rasul, untuk beribadah menyempurnakan agama. Mereka mengawalinya dengan hawa nafsu, selama biduk rumah tangga dijalankan, mereka selalu mengutamakan logika dan hawa nafsunya, saling egois, rumah tangga itu kering ruhiyah, sehingga mudah sekali terjadi keributan dari masalah-masalah sepele.
Bagaiman dengan Rahmah?. Karena tiga kata ini terangkum dalam satu ayat, maka otomatis setiap membahas sakinah, dua kata berikutnya turut dibahas.
Sebagaian ulama menafsirkan kata mawaddah adalah kasih sayang. Karena kata “Mawaddah” juga ada di ayat lain yaitu surat Al-Mumtahanah ayat 1. Sedangkan Rahmah adalah ikatan kasih sayang ketika kedua pasangan sudah memasuki usia lanjut.
Perkawinan adalah ikatan yang diniatkan berlangsung langgeng selama hayat dikandung badan, hanya maut yang bisa memisahkan. Jika pasangan dikaruniai umur panjang, diberi keturunan yang banyak, sholih dan sholihah, maka disini yang dirasa adalah Rahmah. Pasangan itu tetap saling mencintai, mengasihi meski mereka sudah saling berumur, badan sudah ringkih banyak penyakit yang hinggap, wajah sudah keriput tak ada sisa-sisa kecantikan lagi, rambut sudah memutih, gigi sudah ompong. Semua kekurangan itu tidak menyebabkan mereka berpisah, tetap saling menyayangi dan mengasihi. Saling menguatkan dikala duka saling berbagi dikala suka. Kemampuan mereka mempertahankan bahtera rumah tangga itulah rahmah yang Allah turunkan kepada mereka.
Sakinah bukan berarti tak pernah marah pada pasangan, marahlah pada saat pasangan dekat kepada Allah, agar Allah beri petunjuk. Jangan marah pada saat pasangan dekat kepada syetan, karena Syetan bisa menggelincirkan manusia, seperti menggelincirkan Adam dan Hawa.
Yok… mari kita hadirkan Allah dalam keluarga kita supaya Dia turunkan sakinah, mawaddah dan rahmah.
Post a Comment