Kasih Ibu

Oleh wulandari – di tulung agung


Sebut saja namaku Robiati. Aku anak ke 9 dari 12 bersaudara yang terlahir dari lingkungan keluarga yang agamis. Kedua orang tuakupun telah melaksanakan ibadah haji ke baitullah. Di Usia yang sangat muda, aku dijodohkan dengan laki-laki yang bukan pilihanku. Seperti wanita jawa lainnya yang sangat manut, akupun menuruti perintah mereka walaupun saat itu aku masih ingin sekali memperdalam pengetahuan agamaku dengan masuk ke pesantren. Setelah menikah, aku tinggal bersama mertua. Dan kujalani hari-hariku sebagai istri yang baik dan shalehah. Tak berapa lama aku di anugrahi tiga orang putrid yang cantik-cantik. Aku bahagia sekali. Dan Allah masih mempercayaiku dengan kehamilan anak yang ke empat. Tapi, mulai saat itulah cobaan dating silih berganti.

Saat usiaku kian bertambah dewasa, suamiku mengalami tekanan jiwa yang sangat berat, malah bias dibilang mendekati gila. Setiap saat dia mengamuk. Pernah disuatu petang, tiba-tiba dia mengambil keris mertuaku. Maklum, mertuaku adalah orang jawa asli yang masih mempercayai kekuatan mistik. Ia berlalri ke arahku, katanya ingin membunuh aku dan bayi di ada di perutku. Sambil membawa ketiga anakku, akupun berlari menjauh. Aku meminta tolong, tapi tak ada yang berani mendekat. Mereka sembunyi di rumah masing-masing. “ Ya Alloh, hanya kepada-Mu lah aku memohon pertolongan.” Karena keadaanku yang sedang hamil tua dan tiada daya, akhirnya tubuhku tersungkur ke tanah diantara tanaman bayamku. Suamikupun mendekat dan bertanya, “ Engkau memilih Hidup benar atau mati salah?” “ Aku ingin hidup Benar.”

Tiba-tiba suamiku marah. Matanya memerah, melotot dan siap menancapkan kerisnya ke perutku. Ditengah ketakberdayaan, aku tetap ingat yang Kuasa. Kubaca Yaasin dengan segenap kepasrahan. “ Aku pasrah Ya Alloh, Engkaulah yang menentukan hidup dan mati seseorang”. Tiba-tiba suamiku menancapkan kerisnya ke tanah, kemudian memgangi kepalanya seperti sedang kesakitan.

“ Subhanallah …! Allahu akbar..! Aku bersyukur kepada-Mu Ya Alloh. Engkau selamatkan hambaMu yang lemah ini.”

Cepat aku berlalu dari hadapan suamiku. Lain hari, saat azan maghrib berkumandang, suamiku mengambil keris lagi. Kugendong anak ragil-ku di depan. Anak ke tiga di belakang. Sementara kedua anakku yang lain, kubonceng di tangan kanan dan kiri. Suamiku lari mengejar sambil membawa kerisnya. Kutarik lengan kedua anakku. Kususruh mereka mempercepat langkah. Tak kuperdulikan kaki kami yang menginjak-nginjak cetakan batu bata milik tetanggaku. Keselamatan anakku lebih penting. Fikirku saat itu.

Kuketuk pintu mertua, tapi tak ada jawaban. Kuketuk pintu rumah iparku, juga tak dibukakan. Dan tetangga lain juga tak ada yang berani membuka pintu. Sementara suamiku sudah kelihatan semakin dekat.

“ Ya Allah, tolonglah hamba-Mu yang lemah ini.” Diantara rasa cemas, aku mencoba menghidupkan semangatku dengan selalu berdzikir ‘ Ya Rohman Ya Rohim’.

Pertolongan itu ternyata dating juga. Seorang tetangga yang berhati mulia membukakan pintu rumahnya untukku. Mengizinkan aku dan anak-anakku tidur di lantai rumahnya. Memberikan tempat kami berteduh walaupun hanya semalam. Takut suamiku akan menyakiti anakku yang masih kecil-kecil, aku sering membawa mereka tidur diluar rumah, di ladang atau dimana saja yang penting aman. Kupeluk erat mereka, sebisa mungkin ingin kuberikan kehangatan dan rasa aman kepada mereka. Kudongengkan cerita-cerita indah yang penuh hikmah, menjadi pengiring tidur, hingga merekapun terlelap dalam buaian angin malam.

“ Tuhaaaan, kusimpan kepedihanku. Kutahan air mataku. Kutunjukkan ketegaranku di hadapan anak-anakku ini. Aku tak ingin mereka larut dalam kesedihan.”

Keadaan sehabis melahirkan, tak membuatku lelah. Anak-anakkulah yang menjadi semangat. Kutahan rasa lapar yang melilit perut, yang terpenting perut anak-anakku terisi walau hanya dengan ubi jalar mentah. Ku mencoba menghibur mereka, kunasehati seburuk apapun keadaan kami, jangan meminta belas kasihan orang. Kuberikan pendidikan agama, agar punya kepribadian baik kelak. Kujelaskan pada mereka, “ Apa yang terjadi ini adalah takdir hidup. Bapak seperti itu bukan keinginannya. Jangan pernah membenci bapak. Do’akan bapak agar cepat sembuh ya saying.”

Itulah nasehat yang sering keluar dari mulutku. Keadaan suamiku membawa dampak yang negative buat anak-anak. Mereka sering menjadi bahan ejekan dan hinaan. Menjerit hati ini melihatnya. Ingin rasanya aku membungkam mulut anak-anak itu. Tapia pa dayaku. “ Ya Alloh, berilah ketegaran kepada kami”. Tak pernah aku mengeluh atau minta bantuan orang tuaku. Aku tak ingin membebani mereka. Sebagai anak, aku ingin memberikan yang terbaik. Sebisa mungkin kutanggung bebanku sendiri. Tak sekalipun aku mengeluh dengan perlakuan mertua, ipar dan para tetangga. Alloh-lah penolongku. Al Qur’an lah cahayaku.

Badai demi badai cobaan menerpa hidupku. Waktu yang berlalu menjadikan aku sebagai ibu, sekaligus ayah. Kuberjanji pada diriku sendiri. AKu harus bias membahagiakan anak-anakku. Tidak boleh putus asa. Kutolak dengan lembut setiap ajakan untuk aku menikah lagi. Kutekadkan merantau ke negeri arab. Kukirimkan gajihku setiap bulan , walau tak ada sisa. Tapi aku merasa puas, bias menjalankan tugasku. Bertahun-tahun aku hidup diperantauan, kerinduan sering menghimpit dada. Ku ubah kamarku menjadi rumah ibadahku. Setiap malam mataku tak pernah mengantuk. Kuterbuai dalam munajatku. Kutemukan kedamaian di setiap sujudku. Kurasakan kedamaian dalam gemerisik sajadah dan titikan air mata.

Putaran waktu terus berjalan. Tak terasa, usiaku kini telah menginjak kepala lima. Anak-anakku sering menasehatiku untuk pulang ke rumah. Tapi tahukah sayang, keadaanlah yang membuat mama bertahan hingga saat ini. Mama menyayangi kalian. Mama tak ingin menjadi beban. Dengan begini, mama bias membantu materi dan do’a.

AKhir tahun 2005, suamiku meninggalkan rumah dan tidak diketahui keberadaannnya. Meski sedih. Aku tetap tegar. Selalu kupanjatkan do’a untuk keselamatannya dan selalu kutunggu kedatangannya. Kini kedua anakku telah menikah dan kedua putriku yang lain mulai bekerja. Entah kapan, kami sekeluarga bias berkumpul.

Sahabatku semua, petiklah hikmah dari perjalanan hidupku ini. Bahwa Alloh menguji hamba-Nya sesuai batas kemampuan kita. Sepelik apapun masalah di mata kita, tak ada yang mustahil untuk diselsaikan asal kita mau berusaha dan berdo’a. Jangan gadaikan harga diri untuk hidup. Tapi gunakan tenaga untuk mencari rezeki yang halal. Jadikan musibah atau cobaan sebagai lading syurga kita kelak. Dan syurga ada di tekapak kaki ibu.

Ingatlah syair yang ketika kecil, kita selalu diingatkan oleh guru-guru kita.

Kasih Iibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya member, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari bumi.

(kisah ini adalah kisah nyata ibu kandungku. Wulandari )

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.