Cerita Islami - Sikapi Kegagalan Dengan Hati dan Pikiran Yang Jernih
Oleh,
BAYU INSANI
BMI Hongkong
Penulis sampai saat ini masih
bekerja di Hongkong.
BAYU INSANI
BMI Hongkong
Penulis sampai saat ini masih
bekerja di Hongkong.
Gagal. Semua orang tahu, dan mengenal kalimat ini. Sebuah kalimat yang sangat sederhana, karena hanya memiliki lima huruf saja. Namun entah mengapa, kalimat ini memiliki makna yang terkadang sulit untuk diterima oleh akal dan hati manusia, sehingga sering dibenci oleh masyarakat pada umumnya. Termasuk oleh saya dahulu.
Dan saya yakin, diantara banyaknya manusia yang hidup di dunia ini, mereka pasti pernah memiliki pengalaman yang satu ini, yaitu kecewa atau gagal. Ya, karena kita tahu, dan faham, perjalanan hidup manusia, memang tak selamanya lurus dan mulus. Namun terkadang penuh dengan kerikil yang tajam ,yang siap menusuknya. Dan jika kita menyerah atau putus asa, maka kita termasuk orang yang gagal untuk sukses.
Gagal menurut hemat saya adalah, hal yang sangat pahit untuk dirasakan, namun jika kita mampu menyikapi makna dari kegagalan tersebut dengan baik, maka gagal adalah tangga untuk meraih kesuksesan. Karena sudah menjadi fitrah kehidupan pula, suka dan suka selalu beriringan, Sang Maha Pencipta, telah adil membagi rata, dalam apapun, segalanya berpasang-pasangan.
Seorang ustadz pernah berkata pada saya, serugi-ruginya manusia adalah, orang yang belum pernah gagal atau kehilangan. Mengapa demikian? Itulah pertanyaan saya kala itu. “Karena cobaan itu, terkadang mampu mendewasan pikiran seseorang. Dan kehilangan pula, mampu membuat manusia muhasabah diri, (Intropeksi) bahwa tiada yang kekal di dunia ini, kecuali Allah semata.
Kembali pada topic. Dulu, saya sering merasakan hal ini. Baik kecewa karena disebabkan oleh keteledoran diri, maupun kecewa karena orang lain. Mungkin sudah tak terhitung lagi. Namun begitu, saya merasa, jika dibandingkan dengan kekecewaan, pastinya, lebih banyak kebahagian yang saya alami. Alhamdulillah.
Jika kita mendengar kabar yang sangat menggembirakan, tentu hati kita berbunga-bunga bukan?. Namun bagaimana jika kabar gembira itu berubah dalam sekejap mata, bukankah mendadak pula hati dan perasaan kita kecewa? Dan hal seperti ini, pernah saya alami.
Dulu, sewaktu saya masih baru mengenal dunia kepenulisan, dengan penuh percaya diri dan semangat, saya mengirim hasil tulisan-tulisan saya ke berbagai penerbit. Lama, hingga berbulan-bulan, dengan sabar pula, saya menanti jawaban dari mereka. Namun , apa jawaban dari mereka. Maaf, naskah Anda belum bisa kami terbitkan, karena bla, bla, bla. Tiada satu penerbitpun yang mau menerbitkan naskah saya. Sebagai manusia yang normal, terus terang saya sangat kecewa. Walau hakikatnya saya faham, mengapa tulisan saya ditolak mereka. Namun begitulah kata hati, kecewa tak bisa dipungkiri. Dalam hati, saya hanya mampu berjanji, saya akan lebih rajin lagi, dan tak akan menyerah.
Lalu saya konsultasi dengan para penulis-penulis yang telah senior. Hasil dari konsultasi, mereka menasehati saya, bahwa untuk menjadi seorang penulis yang sesungguhnya, kita tak boleh mudah menyerah, dan putus asa, apalagi kecewa dan dendam. Lagi-lagi sayapun harus mendengar nasehat para penulis senior itu, dan mengirim lagi naskah-naskah ke penerbit lain, bahkan ke surat kabar, atau ke perbagai perlombaan. Pendek kata, saya tak menyerah. Hingga pada suatu hari, saya ditawari untuk menerbitkan buku antologi bersama dengan teman dekat saya. Tentu saja, saya sangat bahagia. Sayapun mengirim beberapa naskah ke mereka. Dan setelah menanti beberapa minggu, mereka memberikan informasi pada saya, bahwa bukunya akan terbit sebentar lagi.
Dengan suka cita pula mereka mengumumkan, nama-nama penulis dalam buku tersebut. Sesaat saya bangga. Setidaknya, dalam hati saya berkata, akhirnya, setelah sekian lama menunggu, kini impian untuk menjadi seorang penulis, akan terkabul juga. Bukan hanya itu, sayapun woro-woro di jejaring internet, seperti blog dan facebook, kalau saya sebentar lagi akan memiliki buku. Saya benar-benar bahagia.
Hari yang dinanti tiba. Bukupun telah terbit. Namun, adakah saya benar-benar bahagia? O, o. Ternyata tidak. Justru saya kecewa berat. Seorang teman memberitahukan, bahwa dalam buku tersebut, ternyata tidak ada nama dan tulisan saya. Glodaaakkkkk!! Bukan hanya kecewa berat, namun saya juga merasa sangat malu pada semua teman-teman yang telah mengetahui kabar tersebut. Saya seolah kehilangan muka waktu itu.
Tak lama kemudian, atas nama organisasinya, mereka meminta maaf atas kesalahan yang di sengaja ini. Terus terang, untuk memaafkan mereka, tidaklah mudah. Nama dan hargadiri saya telah mereka coreng moreng. Hingga lama, kekecewaan ini mengendap dalam hati. Namun, lagi-lagi para penulis senior menasehati saya, untuk memaafkan mereka serta meng-ikhlaskan kejadian memalukan itu. Sayapun menurut. Saya maafkan, serta ikhlaskan kejadian tersebut, hinga tiada luka dalam hati saya. Bagi saya, dorongan semangat dari teman-teman lebih baik dan lebih berharga daripada memikirkan masa lalu atau luka yang tiada berpenghujung. Dan mulai saat itu, saya mulai pandai-pandai dalam mencari kawan. Tak lupa, saya lebih banyak berdoa pada Zat yang Maha Pemberi, untuk memberikan ganti, yang terbaik untuk saya kelak.
Selang beberapa bulan kemudian, Allah benar-benar kabulkan doa-doa saya. Naskah lomba saya, akhirnya menang. Berawal dari biodata dalam naskah lomba saya pada sebuah penerbitan buku, mereka tertarik dengan kisah hidup saya. Mungkin Andapun tidak tahu, kalau saya adalah seorang TKW di Negera Hong Kong. Akhirnya, sebuah penerbit menyuruh saya untuk menuliskan kisah hidup saya, dalam dunia tkw, serta suka dukanya menekuni dunia kepenulisan. Belum selesai naskah itu saya tulis, kembali saya mendapatkan tawaran sebagai koordinasi naskah untuk dua tema. Subbhanallah, benar-benar luar biasa.
Sebagai koordinasi, tugas saya mencari contributor naskah. Bagi saya, tak susah untuk mencarinya, karena saya memiliki teman sesama penulis. Akhirnya, saya memilih para penulis yang kira-kira tulisannya telah matang dalam dunia kepenulisan. Salah satunya, adalah teman saya yang berada dalam organisasi tersebut. Organisasi yang pernah membuat saya kecewa dulu. Teman saya inipun menyetujuinya. Deadline kepenulisan, saya berikan dengan waktu yang cukup lama, karena halaman naskah lumayan banyak bagi kami, yang masih penulis pemula. Maklum pula, kami bekerja di sector rumah tangga, jadi nulisnya nyambil kerja .
Seminggu sebelum deadline, kembali saya mengechek semua contributor. Alhamdulillah, semua mengatakan siap sebentar lagi, termasuk teman saya, yang bernama Guli (Nama samaran) Ia bilang, hanya tinggal beberapa halaman. Sebelum seminggu, naskah pasti selesai. Janjinya pada saya. Lega. Namun benarkah apa yang di katakannya pada saya? O, o! Ternyata tidak. Deadline telah habis, namun hanya dia yang yang tak memberikan naskah tulisannya pada saya. Mengapa? Saat saya tanya, dia hanya berkata, maaf, namun tak bisa memberikan alasannya. Astagfirullahal’adzim, saya kecewa lagi padanya, dan gagal untuk yang kedua kali. Demi menyelamatan kepercayaan dan buku, terpaksa saya memohon pada penerbit untuk mengulur deadline barang satu minggu. Lagi-lagi tanpa campur tangan Tuhan, mungkin saya telah dimurkai oleh penerbit tersebut. Namun bersyukur, penerbit itu memberikan kesempatan sekali lagi pada saya, untuk menulis naskah yang telah gagal oleh teman saya tadi. Dan Alhamdulillah, dalam waktu seminggu itu, naskah terselesaikan dengan baik.
Hingga akhirnya, setelah menanti beberapa bulan kemudian, sambil menulis untuk lomba-lomba kepenulisan, berita baik-pun datang. Ketiga buku saya terbit, dan lomba-lomba saya menangkan. Subbhanallah, saya bahagia, kali Kini saya percaya, energy memaafkan, ternyata Allah benar-benar menggantinya dengan berita baik. Ketiga buku tersebut berjudul, TKW Menulis, Masihkah Kau Mencintaiku, dan Cinta Monyet Never Forget, semua di terbitkan oleh penerbit Leutika Publisher. Alhamdulillah, saya bersujud syukur.
Mengetahui buku saya telah terbit, teman saya hanya diam, dan menyesal. Itu yang pernah saya dengar dari temannya. Sebagai sesama teman, saya telah memaafkannya lahir dan batin. Tak ada ganjalan luka sedikitpun dalam hati saya. Hanya saja, mungkin dia yang masih merasa bersalah, karena sikapnya yang suka meremehkan orang lain.
Setiap masalah, selalu ada solusinya. Begitu juga dengan kecewa, atau gagal. Solusi bagi kecewa, adalah memaafkan. Dan solusi untuk gagal, adalah tidak menyerah atau putus asa. Insya Allah, jika Anda menyikapi kegagalan dengan hati dan pikiran yang jernih, maka Allah akan menggantinya dengan kebaikkan.
Itulah, sedikit kisah saya, yang pernah mengalami kecewa dan gagal, semoga bermanfaat bagi pembaca.
Bayu insani 13/02/2011.HK.
Dan saya yakin, diantara banyaknya manusia yang hidup di dunia ini, mereka pasti pernah memiliki pengalaman yang satu ini, yaitu kecewa atau gagal. Ya, karena kita tahu, dan faham, perjalanan hidup manusia, memang tak selamanya lurus dan mulus. Namun terkadang penuh dengan kerikil yang tajam ,yang siap menusuknya. Dan jika kita menyerah atau putus asa, maka kita termasuk orang yang gagal untuk sukses.
Gagal menurut hemat saya adalah, hal yang sangat pahit untuk dirasakan, namun jika kita mampu menyikapi makna dari kegagalan tersebut dengan baik, maka gagal adalah tangga untuk meraih kesuksesan. Karena sudah menjadi fitrah kehidupan pula, suka dan suka selalu beriringan, Sang Maha Pencipta, telah adil membagi rata, dalam apapun, segalanya berpasang-pasangan.
Seorang ustadz pernah berkata pada saya, serugi-ruginya manusia adalah, orang yang belum pernah gagal atau kehilangan. Mengapa demikian? Itulah pertanyaan saya kala itu. “Karena cobaan itu, terkadang mampu mendewasan pikiran seseorang. Dan kehilangan pula, mampu membuat manusia muhasabah diri, (Intropeksi) bahwa tiada yang kekal di dunia ini, kecuali Allah semata.
Kembali pada topic. Dulu, saya sering merasakan hal ini. Baik kecewa karena disebabkan oleh keteledoran diri, maupun kecewa karena orang lain. Mungkin sudah tak terhitung lagi. Namun begitu, saya merasa, jika dibandingkan dengan kekecewaan, pastinya, lebih banyak kebahagian yang saya alami. Alhamdulillah.
Jika kita mendengar kabar yang sangat menggembirakan, tentu hati kita berbunga-bunga bukan?. Namun bagaimana jika kabar gembira itu berubah dalam sekejap mata, bukankah mendadak pula hati dan perasaan kita kecewa? Dan hal seperti ini, pernah saya alami.
Dulu, sewaktu saya masih baru mengenal dunia kepenulisan, dengan penuh percaya diri dan semangat, saya mengirim hasil tulisan-tulisan saya ke berbagai penerbit. Lama, hingga berbulan-bulan, dengan sabar pula, saya menanti jawaban dari mereka. Namun , apa jawaban dari mereka. Maaf, naskah Anda belum bisa kami terbitkan, karena bla, bla, bla. Tiada satu penerbitpun yang mau menerbitkan naskah saya. Sebagai manusia yang normal, terus terang saya sangat kecewa. Walau hakikatnya saya faham, mengapa tulisan saya ditolak mereka. Namun begitulah kata hati, kecewa tak bisa dipungkiri. Dalam hati, saya hanya mampu berjanji, saya akan lebih rajin lagi, dan tak akan menyerah.
Lalu saya konsultasi dengan para penulis-penulis yang telah senior. Hasil dari konsultasi, mereka menasehati saya, bahwa untuk menjadi seorang penulis yang sesungguhnya, kita tak boleh mudah menyerah, dan putus asa, apalagi kecewa dan dendam. Lagi-lagi sayapun harus mendengar nasehat para penulis senior itu, dan mengirim lagi naskah-naskah ke penerbit lain, bahkan ke surat kabar, atau ke perbagai perlombaan. Pendek kata, saya tak menyerah. Hingga pada suatu hari, saya ditawari untuk menerbitkan buku antologi bersama dengan teman dekat saya. Tentu saja, saya sangat bahagia. Sayapun mengirim beberapa naskah ke mereka. Dan setelah menanti beberapa minggu, mereka memberikan informasi pada saya, bahwa bukunya akan terbit sebentar lagi.
Dengan suka cita pula mereka mengumumkan, nama-nama penulis dalam buku tersebut. Sesaat saya bangga. Setidaknya, dalam hati saya berkata, akhirnya, setelah sekian lama menunggu, kini impian untuk menjadi seorang penulis, akan terkabul juga. Bukan hanya itu, sayapun woro-woro di jejaring internet, seperti blog dan facebook, kalau saya sebentar lagi akan memiliki buku. Saya benar-benar bahagia.
Hari yang dinanti tiba. Bukupun telah terbit. Namun, adakah saya benar-benar bahagia? O, o. Ternyata tidak. Justru saya kecewa berat. Seorang teman memberitahukan, bahwa dalam buku tersebut, ternyata tidak ada nama dan tulisan saya. Glodaaakkkkk!! Bukan hanya kecewa berat, namun saya juga merasa sangat malu pada semua teman-teman yang telah mengetahui kabar tersebut. Saya seolah kehilangan muka waktu itu.
Tak lama kemudian, atas nama organisasinya, mereka meminta maaf atas kesalahan yang di sengaja ini. Terus terang, untuk memaafkan mereka, tidaklah mudah. Nama dan hargadiri saya telah mereka coreng moreng. Hingga lama, kekecewaan ini mengendap dalam hati. Namun, lagi-lagi para penulis senior menasehati saya, untuk memaafkan mereka serta meng-ikhlaskan kejadian memalukan itu. Sayapun menurut. Saya maafkan, serta ikhlaskan kejadian tersebut, hinga tiada luka dalam hati saya. Bagi saya, dorongan semangat dari teman-teman lebih baik dan lebih berharga daripada memikirkan masa lalu atau luka yang tiada berpenghujung. Dan mulai saat itu, saya mulai pandai-pandai dalam mencari kawan. Tak lupa, saya lebih banyak berdoa pada Zat yang Maha Pemberi, untuk memberikan ganti, yang terbaik untuk saya kelak.
Selang beberapa bulan kemudian, Allah benar-benar kabulkan doa-doa saya. Naskah lomba saya, akhirnya menang. Berawal dari biodata dalam naskah lomba saya pada sebuah penerbitan buku, mereka tertarik dengan kisah hidup saya. Mungkin Andapun tidak tahu, kalau saya adalah seorang TKW di Negera Hong Kong. Akhirnya, sebuah penerbit menyuruh saya untuk menuliskan kisah hidup saya, dalam dunia tkw, serta suka dukanya menekuni dunia kepenulisan. Belum selesai naskah itu saya tulis, kembali saya mendapatkan tawaran sebagai koordinasi naskah untuk dua tema. Subbhanallah, benar-benar luar biasa.
Sebagai koordinasi, tugas saya mencari contributor naskah. Bagi saya, tak susah untuk mencarinya, karena saya memiliki teman sesama penulis. Akhirnya, saya memilih para penulis yang kira-kira tulisannya telah matang dalam dunia kepenulisan. Salah satunya, adalah teman saya yang berada dalam organisasi tersebut. Organisasi yang pernah membuat saya kecewa dulu. Teman saya inipun menyetujuinya. Deadline kepenulisan, saya berikan dengan waktu yang cukup lama, karena halaman naskah lumayan banyak bagi kami, yang masih penulis pemula. Maklum pula, kami bekerja di sector rumah tangga, jadi nulisnya nyambil kerja .
Seminggu sebelum deadline, kembali saya mengechek semua contributor. Alhamdulillah, semua mengatakan siap sebentar lagi, termasuk teman saya, yang bernama Guli (Nama samaran) Ia bilang, hanya tinggal beberapa halaman. Sebelum seminggu, naskah pasti selesai. Janjinya pada saya. Lega. Namun benarkah apa yang di katakannya pada saya? O, o! Ternyata tidak. Deadline telah habis, namun hanya dia yang yang tak memberikan naskah tulisannya pada saya. Mengapa? Saat saya tanya, dia hanya berkata, maaf, namun tak bisa memberikan alasannya. Astagfirullahal’adzim, saya kecewa lagi padanya, dan gagal untuk yang kedua kali. Demi menyelamatan kepercayaan dan buku, terpaksa saya memohon pada penerbit untuk mengulur deadline barang satu minggu. Lagi-lagi tanpa campur tangan Tuhan, mungkin saya telah dimurkai oleh penerbit tersebut. Namun bersyukur, penerbit itu memberikan kesempatan sekali lagi pada saya, untuk menulis naskah yang telah gagal oleh teman saya tadi. Dan Alhamdulillah, dalam waktu seminggu itu, naskah terselesaikan dengan baik.
Hingga akhirnya, setelah menanti beberapa bulan kemudian, sambil menulis untuk lomba-lomba kepenulisan, berita baik-pun datang. Ketiga buku saya terbit, dan lomba-lomba saya menangkan. Subbhanallah, saya bahagia, kali Kini saya percaya, energy memaafkan, ternyata Allah benar-benar menggantinya dengan berita baik. Ketiga buku tersebut berjudul, TKW Menulis, Masihkah Kau Mencintaiku, dan Cinta Monyet Never Forget, semua di terbitkan oleh penerbit Leutika Publisher. Alhamdulillah, saya bersujud syukur.
Mengetahui buku saya telah terbit, teman saya hanya diam, dan menyesal. Itu yang pernah saya dengar dari temannya. Sebagai sesama teman, saya telah memaafkannya lahir dan batin. Tak ada ganjalan luka sedikitpun dalam hati saya. Hanya saja, mungkin dia yang masih merasa bersalah, karena sikapnya yang suka meremehkan orang lain.
Setiap masalah, selalu ada solusinya. Begitu juga dengan kecewa, atau gagal. Solusi bagi kecewa, adalah memaafkan. Dan solusi untuk gagal, adalah tidak menyerah atau putus asa. Insya Allah, jika Anda menyikapi kegagalan dengan hati dan pikiran yang jernih, maka Allah akan menggantinya dengan kebaikkan.
Itulah, sedikit kisah saya, yang pernah mengalami kecewa dan gagal, semoga bermanfaat bagi pembaca.
Bayu insani 13/02/2011.HK.
Post a Comment