Kisah Sahabat Nabi - Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar
Setelah Rasulullah saw wafat dan Abu Bakar resmi diangkat menjadi pengganti beliau mewakili suku Quraisy, maka stabilitas politik mulai terkoyak. Bila dibincangkan lebih lanjut, maka pemurtadan yang marak terjadi saat itu lebih merupakan pertimbangan politik bukan akidah semata. Inilah tugas berat Abu Bakar yang harus diselesaikan lebih dahulu.
Ibn al-Atsir (wafat tahun 630 H/1232 M) mengilustrasikan suasana politik pasca wafatnya Rasulullah SAW dan dibai’atnya Abu Bakar sebagai berikut:
“Semenjak Rasulullah Saw wafat dan berita dukanya sampai ke Makkah dibawa oleh ‘Uttab ibn Usaid ibn Abi al-‘Ash ibn Umayyah, Uttab menyamar dan mengharap penduduk Makkah yang semuanya hampir murtad kembali kepada Islam. Kemudian Suhail ibn ‘Amar berdiri di depan pintu Ka’bah dan berteriak kepada mereka:
Berkumpullah wahai penduduk Makkah…….! kemudian dia berpidato: “Janganlah kalian menjadi orang yang terakhir masuk Islam kemudian paling awal murtadnya. Demi Allah, pasti Allah memberi anugrah sebagaimana yang diucapkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Ucapkanlah besertaku kalimat la ilaha illa Allah, niscaya kamu akan menguasai orang Arab dan non-Arab. Mereka akan membayar pajak kepadamu”. (Al-Kamil fi al-Tarikh, Juz II, hal.324).
Dr. Hasan Ibrahim Hasan menambahkan, …..pada saat bani Tsaqif di Thaif akan menyatakan kemurtadan, Usman ibn Abi al-Ash menyarankan: wahai warga bani Tsaqif, kamu sekalian merupakan orang yang terakhir masuk Islam, maka janganlah kalian menjadi orang yang pertama murtad. Kemenangan Arab merupakana kemenangan keluarga kita. Antara Thaif dan Makkah masih ada tali persaudaraan (qarabah) dan jalur keturunan (nasab). Setelah itu mereka semua mempertahankan ke-Islamannya. (Tarikh al-Islami al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, juz 1, hal. 346).
Dengan demikian, nampaklah bahwa pada saat itu situasi bangsa Arab hampir seluruhnya murtad, terkecuali penduduk Madinah yang memang memiliki keimanan yang handal. Sedangkan penduduk Makkah bertahan dalam Islam lebih karena harta rampasan perang (ghanimah) dan penduduk Thaif lebih karena pertalian kabilah.
Syukurlah, Abu Bakar cepat memulihkan stabilitas politik dan keamanan negara saat itu. Beliau memutuskan untuk menumpas dan memerangi orang-orang yang murtad, orang-orang yang menolak membayar zakat (inkar al-Zakat) dan para nabi palsu, meskipun ada sebagian sahabat yang tidak sependapat dengan langkah tersebut. Pada sisi lain, secara politis Islam sudah mulai melebarkan sayapnya melakukan ekspansi keluar semenanjung Arab, seperti ke negara Syam (Syria) dan Persia.
Setelah memerintah selama dua tahun, pada tanggal 21 Jumada al-Akhir 13 H (22 Agustus 634 M) Abu Bakar wafat. Sepeninggal beliau tampuk khalifah dipegang oleh Umar ibn Khatab. Suksesi kepemimpinan kepada Umar ini lebih didasarkan pada pesan (wasiat) Abu Bakar kepada Umar sebagai waliy al-‘ahdi (baca: putra mahkota). Oleh karena itu wajarlah meskipun Umar ibn Khatab sukses memimpin negara, masih juga banyak suara sumbang yang datang dari orang-orang non-Islam yang berkoalisi dengan orang-orang munafiqin. Puncak kebencian mereka itulah yang menyebabkan Umar ibn Khatab terbunuh di tangan Abu Lu’lu’ah.
Abu Lu’luah adalah ahli membuat pedang dari kota Kufah. Sebenarnya, keberadaannya di kota Madinah sejak semula ditolak oleh Umar sebab seorang tawanan kalau sudah menginjak dewasa tidak diizinkan tinggal di Madinah, apalagi dia masih memeluk agama Majusi. Kemudian al-Mughirah sebagai Amir Kufah saat itu menulis surat kepada khalifah dan meyakinkan tentang pentingnya profesi Abu Lu’lu’ah bagi kepentingan umat Islam. Akhirnya Umar menyetujui permintaan al-Mughirah tersebut. Lalu datanglah Abu Lu’lu’ah ke Madinah bahkan ia digaji 100 (seratus) dirham setiap bulan. Namun, karena ia masih beragama Majusi, maka setiap bulannya dikenakan kharaj (pajak kepala). Dalam kondisi seperti itu Bani Umayyah yang dapat dikatakan sebagai oposisi khalifah Umar (karena Umar tidak berasal dari keturunan Umayyah) menghasut Abu Lu’lu’ah untuk mengajukan dispensasi kepada khalifah agar terbebas dari kharaj sebab jasanya terhadap negara sangat banyak. Abu Lu’lu’ah bergegas mengajukan permintaan tersebut. Namun, khalifah Umar menjawab, “Ini sudah peraturan, lagi pula gajimu sudah cukup besar”.
Permohonan pembebasan kharaj seperti ini dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah berulang kali, sehingga karena merasa jengkel dan dendam terhadap sikap Khalifah Umar, ia memberanikan diri membunuh Umar di saat menjadi Imam shalat Subuh.
(Disarikan dari buku Aswaja dalam Lintas Sejarah karya KH. Said Aqil Siradj) / nu.or.id
Post a Comment